Langsung ke konten utama

Makalah Membahas Tentang Syekh Abdul Qodir Al- jailani


BAB I
PENDAHULUAN

A.   Latar Belakang

Syekh Abdul Qadir al-Jaylani merupakan tokoh sufi paling masyhur di Indonesia. Peringatan Haul waliyullah ini pun selalu dirayakan setiap tahun oleh umat Islam Indonesia. Tokoh yang diyakini sebagai cikal bakal berdirinya Tarekat Qadiriyah ini lebih dikenal masyarakat lewat cerita-cerita karamahnya dibandingkan ajaran spiritualnya.Terlepas dari pro dan kontra atas kebenaran karamahnya, Biografi (manaqib) tentangnya sering dibacakan dalam majelis yang dikenal di masyarakat dengan sebutan manaqiban. Nama lengkapnya adalah Abdul Qadir ibn Abi Shalih Abdullah Janki Dusat al-Jaylani. Al-Jaylani merupakan penisbatan pada Jil, daerah di belakang Tabaristan. Di tempat itulah ia dilahirkan. Selain Jil, tempat ini disebut juga dengan Jaylan dan Kilan.Maka didalam makalah ini akan membahaskan tenatang manaqib.


B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang masalah tersebut, maka timbul permasalahan yang dapat dikemukakan yaitu :

1.      Mengapa Syaikh ‘Abdul Qadir muncul sebagai tokoh penting dalam sejarah Islam dan menyebabkan sejumlah besar Manaqib (hagiografi) genre?
2.      Paradigma apa yang digunakan untuk menulis karya-karya Syeh Abdulqodir jailani ?
3.      Bagaimana kita dapat tempat dan mengukur historisitas dan signifikansi dalam sejarah Islam?

C.  Tujuan Penulisan
Seiring dengan permasalahan-permasalahan diatas maka tujuan dalam penulisan makalah ini adalah :
1.      Untuk mengetahui hukum manaqib menurut kaca mata islam.



D.  Metode Penulisan
      1.  Metode Deduktif
Yaitu dengan meneliti persoalan manaqib yang terjadi dimasyarakat dan kemudian dibandingkan dengan konsep hukum yang berlaku  dalam syari’at islam.
2.   Metode Komparatif
Yaitu dengan cara mengemukakan kontraversi berbagai pendapat para tokoh mengenai manaqib, dan merumuskannya dalam satu kesimpulan dengan cara melakukan analisis logis teoritif
  1. Dealektis
Yaitu dengan cara mengqiyaskan rumusan masalah dengan dalil-dalil yang sudah ada.
 
E.   Sistematika Penulisan

BAB I        : Pendahuluan yang berisikan latar belakang masalah, rumusan masalah,, sistematika pembahasan.
BAB II       : Pembahasan yang  berisi kajian dalil berupa hadits, ungkapan ulama’, fenomena permasalahan dan analisa masalah dan sejarahnya beliau.
BAB III      : Penutup yang berisi kesimpulan dan dan saran-saran













BAB II
PEMBAHASAN

A.     Pandangan Islam Tentang Manaqib
Banyak kita jumpai orang yang sangat mengagung-agungkan “ibadah” bacaan manaqib bahkan melebihi ibadah sunnah. Mereka berkeyakinan agar “wasilahnya” cepat sampai dan terkabul. Misalnya, membuat ayam ungkep utuh (ingkung-Jawa), yang dimasak oleh wanita suci dari hadast, lalu yang boleh menyembelih harus orang sudah berijazah dari gurunya (telah mengkhatamkan bacaan manaqib sebanyak 40 kali). Di saat pembacaan manaqib, sudah menjadi keyakinan bagi para jamaahnya untuk membawa botol berisi air yang diletakkan di depan Imam atau gurunya, konon air tersebut dipercaya membawa berbagai macam berkah. Khasiat lainnya yakni apabila seseorang mempunyai keinginan tertentu (usaha dan rejeki lancar, pandai, atau nadhar lainnya), mereka membaca bersama-sama pada hari yang ditentukan, misalnya tiap Rabu Kliwon, Pon, bahkan ada yang disertai dengan pembakaran kemenyan atau parfum wewangian agar ruh sang tokoh hadir ikut mendoakannya, karena “konon” ada pendapat bahwa Syaikh Abdul Qodir Jaelani pernah berkata, “Dimana saja dibacakan manaqib-ku aku hadir padanya”[1]
Para pelaku manaqib tersebut berkeyakinan, bahwa bacaan itu adalah suatu amalan agung yang di ajakan guru-gurunya meskipun tidak jelas sumber asalnya. Namun jika kita kaji lebih dalam, kata manaqib berasal dari “manqobah” berarti kisah tentang kesolehan, dan amal seseorang. Jadi membaca manaqib, sama saja dengan membaca biografi atau cerita kebaikan seseorang Namun sayang, manaqib disini banyak mengisahkan cerita-cerita bohong, dan tidak masuk akal. Ironisnya lagi, dengan dalih sebagai bukti kecintaannya kepada waliyullah, mereka selalu membaca, mengingat, bahkan memanggil dan memohon roh wali yang sudah mati (Abdul Qodir Jailani-red) untuk perantara. Jika sudah seperti ini yang di dapat adalah…..kesyirikan. Karena menghadirkan roh orang yang sudah mati adalah mustahil, yang datang adalah jin yang berubah rupa atas bantuan tukang sihir bangsa jin. Sedangkan berbagai cara dan persyaratan ritual manaqib sangat mirip sekali dengan cara-cara zaman jahiliyah dan budaya orang-orang musyrik dalam berinteraksi dengan para dewanya (bangsa jin). Bedanya sekarang mereka beralasan tidak menyembah roh tapi sebagai bentuk taqarruban (mendekatkan diri) dan wasilah (perantara) kepada Allah. Padahal Allah sendiri telah memperingatkan dengan keras dan tegas dalam firman-Nya:
bÎ) óOèdqããôs? Ÿw (#qãèyJó¡o ö/ä.uä!$tãߊ öqs9ur (#qãèÏÿxœ $tB (#qç/$yftGó$# ö/ä3s9 ( tPöqtƒur ÏpyJ»uŠÉ)ø9$# tbrãàÿõ3tƒ öNä3Å2÷ŽÅ³Î0 4 Ÿwur y7ã¥Îm;uZムã@÷WÏB 9ŽÎ7yz ÇÊÍÈ 
 “Jika kamu menyeru mereka, mereka tiada mendengar seruanmu; dan kalaupun mereka mendengar, mereka tidak dapat memperkenankan permintaanmu. Dan pada hari kiamat mereka akan mengingkari kemusyrikanmu dan tidak ada yang dapat memberi keterangan kepadamu sebagai yang diberikan oleh Yang Maha Mengetahui.” (QS. Faathir: 14)[2]
Bahwa membaca manaqib Syekh Abdul Qadir al-Jilani adalah haram, didasarkan pada aqidah wahabi dan segolongannya, yang anti terhadap berbagai bentuk ritual Islam yang tidak ada tuntunannya di dalam al-Qur'an maupun as-Sunnah. Mereka beranggapan bahwa, segala bentuk ritual agama yang tidak ada tuntunannya adalah bid'ah. Dan mereka berpendapat bahwa "kullu bid'atin dlalalah" (setiap bid'ah atau perilaku baru yang tidak ada tuntunannya secara tekstual di dalam nash adalah bid'ah).[3]
ا يا كم ومحد ثا ت الا مور فا ن كل بد عة ضلا لة  (رواه ابو داود والرمذي)
Hindarilah amalan yang tidak Kucontohkan  (bid’ah), karena tiap bid’ah menyesatkan”, (HR. Abu Daud dan Tirmizi)
Jadi tidak seluruh bid’ah itu adalah sesat karena ada juga bid’ah hasanah, sebagaimana komentar imam Syafi’I Ra :
المحد ثا ت ضربان ما احد ث يخالف كتا با او سنة او اثرا اوجما عا فهذه بد عة الضلا ل وما احد ث من الخير لا يخا لف شيأ من ذالك فهي محد ثة غير مذ مومة
“Sesuatu yang diada-adakan (dalam agama) ada dua macam : sesuatu yang diada-adakan (dalam agama) yang bertentang dengan Al-Qur’an, Sunnah Nabi  SAW, perilaku sahabat , atau kesepakatan ulama, maka termasuk bid’ah yang sesat: adapun yang diada-adakan adalah sesuatu yang baik dan tidak menyalahi ketentuan (Al-Qur’an, Hadits, prilaku Sahabat atau Ijma) maka sesuatu  itu tidak tercela (baik) ”. (Fat al-Bari, Juz XVII: 10)[4]
Adapun menurut tuntunan kaum salaf, dalam aqidah ahlussunnah wal jamaah, membaca Manaqib para wali, itu baik (mustahab), karena dapat mendatangkan kecintaan terhadap para wali dan untuk bertawassul kepada para wali Allah. Adapun memberi makananitu hukumnya sunah, kalau dengan maksud untuk memberikan shadaqah dan bertujuan untuk memulyakan tamu. Dalam hadist dinyatakan, yang artinya, “Siapa yang beriman kepada Allah, supaya menghormati tamunya”.

B.     Sejarang Syeh Abdul Qodir Jailani

a.      Kelahiran

Sayidi Abdul Qadir Jailani adalah seorang ulama terkenal. Beliau bukan hanya terkenal di sekitar tempat tinggalnya, Baghdad, Irak. Tetapi hampir seluruh umat Islam di seluruh dunia mengenalnya. Hal itu dikarenakan kesalihan dan keilmuannya yang tinggi dalam bidang keislaman, terutama dalam bidang tasawuf.

Nama sebenarnya adalah Abdul Qadir. Ia juga dikenal dengan berbagai gelar seperti; Muhyiddin, al Ghauts al Adham, Sultan al Auliya, dan sebagainya. Sayidi Abdul Qadir Jailani adalah ahli bait keturunan Rasulullah SAW. Ibunya yang bernama Ummul Khair Fatimah, adalah keturunan Mawlana al-Imam Husain, cucu Nabi Muhammad Saw. Jadi, silsilah keluarga Syaikh Abdul Qadir Jailani jika diurutkan ke atas, maka akan sampai ke Khalifah Imam ‘Ali bin Abi Thalib.

Sayidi Abdul Qadir Jailani dilahirkan pada tahun 1077 M / 469 H. Pada saat melahirkannya, ibunya sudah berusia 60 tahun. Ia dilahirkan di sebuah tempat yang bernama Jailan. Karena itulah di belakang namanya terdapat julukan Jailani. Penduduk Arab dan sekitarnya memang terbiasa menambahkan nama mereka dengan nama tempat tinggalnya.[5]

b.      Belajar di Baghdad

Selama belajar di Baghdad, karena sedemikian jujur dan murah hati, ia terpaksa mesti tabah menderita. Berkat bakat dan kesalehannya, ia cepat menguasai semua ilmu pada masa itu. Ia membuktikan diri sebagai ahli hukum terbesar di masanya. Tetapi, kerinduan ruhaniahnya yang lebih dalam gelisah ingin mewujudkan diri. Bahkan di masa mudanya, kala tenggelam dalam belajar, ia gemar musyahadah).

Ia sering berpuasa, dan tak mau meminta makanan dari seseorang, meski harus pergi berhari-hari tanpa makanan. Di Baghdad, ia sering menjumpai orang-orang yang berfikir serba ruhani, dan berintim dengan mereka. Dalam masa pencarian inilah, ia bertemu dengan Hadhrat Hammad, seorang penjual sirup, yang merupakan wali besar pada zamannya. [6]

Lambat laun wali ini menjadi pembimbing ruhani Abdul Qadir. Hadhrat Hammad adalah seorang wali yang keras, karenanya diperlakukannya sedemikian keras sufi yang sedang tumbuh ini. Namun calon ghauts ini menerima semua ini sebagai koreksi bagi kecacatan ruhaninya.

c.       Latihan-Latihan Ruhaniah

Setelah menyelesaikan studinya, ia kian keras terhadap diri. Ia mulai mematangkan diri dari semua kebutuhan dan kesenangan hidup. Waktu dan tenaganya tercurah pada shalat dan membaca Qur'an suci. Shalat sedemikian menyita waktunya, sehingga sering ia shalat shubuh tanpa berwudhu lagi, karena belum batal.

Diriwayatkan pula, beliau kerapkali khatam membaca Al-Qur'an dalam satu malam. Selama latihan ruhaniah ini, dihindarinya berhubungan dengan manusia, sehingga ia tak bertemu atau berbicara dengan seorang pun. Bila ingin berjalan-jalan, ia berkeliling padang pasir. Akhirnya ia tinggalkan Baghdad, dan menetap di Syustar, dua belas hari perjalanan dari Baghdad. Selama sebelas tahun, ia menutup diri dari dunia. Akhir masa ini menandai berakhirnya latihannya. Ia menerima nur yang dicarinya. Diri-hewaninya kini telah digantikan oleh wujud mulianya.

Suatu peristiwa terjadi pada malam babak baru ini, yang diriwayatkan dalam bentuk sebuah kisah. Kisah-kisah serupa dinisbahkan kepada semua tokoh keagamaan yang dikenal di dalam sejarah; yakni sebuah kisah tentang penggodaan. Semua kisah semacam itu memaparkan secara perlambang, suatu peristiwa alamiah dalam kehidupan.

Misal, tentang bagaimana nabi Isa as digoda oleh Iblis, yang membawanya ke puncak bukit dan dari sana memperlihatkan kepadanya kerajaan-kerajaan duniawi, dan dimintanya nabi Isa a.s., menyembahnya, bila ingin menjadi raja dari kerajaan-kerajaan itu. Kita tahu jawaban beliau, sebagai pemimpin ruhaniah. Yang kita tahu, hal itu merupakan suatu peristiwa perjuangan jiwa sang pemimpin dalam hidupnya.[7]

Demikian pula yang terjadi pada diri Rasulullah saw. Kala beliau kukuh berdakwah menentang praktek-praktek keberhalaan masyarakat dan musuh-musuh beliau, para pemimpin Quraisy merayunya dengan kecantikan, harta dan tahta. Dan tak seorang Muslim pun bisa melupakan jawaban beliau: "Aku sama sekali tak menginginkan harta ataupun tahta. Aku telah diutus oleh Allah sebagai seorang Nadzir) bagi umat manusia, menyampaikan risalah-Nya kepada kalian. Jika kalian menerimanya, maka kalian akan bahagia di dunia ini dan di akhirat kelak. Dan jika kalian menolak, tentu Allah akan menentukan antara kalian dan aku."

Begitulah gambaran dari hal ini, dan merupakan fakta kuat kemaujudan duniawi. Berkenaan dengan hal ini, ada dua versi kisah tentang Syaikh Abdul Qadir Jailani. Versi pertama mengisahkan, bahwa suatu hari Iblis menghadapnya, memperkenalkan diri sebagai Jibril, dan berkata bahwa ia membawa Buraq dari Allah, yang mengundangnya untuk menghadap-Nya di langit tertinggi.[8]

Sang Syaikh segera menjawab bahwa si pembicara tak lain adalah si Iblis, karena baik Jibril maupun Buraq takkan datang ke dunia bagi selain Nabi Suci Muhammad saw. Setan toh masih punya cara lain, katanya: "Baiklah Abdul Qadir, engkau telah menyelamatkan diri dengan keluasan ilmumu." "Enyahlah!, bentak sang wali." Jangan kau goda aku, bukan karena ilmuku, tapi karena rahmat Allahlah aku selamat dari perangkapmu".

Versi kedua mengisahkan, ketika sang Syaikh sedang berada di rimba belantara, tanpa makanan dan minuman, untuk waktu yang lama, awan menggumpal di angkasa, dan turunlah hujan. Sang Syaikh meredakan dahaganya. Muncullah sosok terang di cakrawala dan berseru: "Akulah Tuhanmu, kini Kuhalalkan bagimu segala yang haram." Sang Syaikh berucap: "Aku berlindung kepada Allah dari godaan setan yang terkutuk." Sosok itu pun segera pergi berubah menjadi awan, dan terdengar berkata: "Dengan ilmumu dan rahmat Allah, engkau selamat dari tipuanku."

Lalu setan bertanya tentang kesigapan sang Syaikh dalam mengenalinya. Sang Syaikh menyahut bahwa pernyataannya menghalalkan segala yang haramlah yang membuatnya tahu, sebab pernyataan semacam itu tentu bukan dari Allah. Kedua versi ini benar, yang menyajikan dua peristiwa berlainan secara perlambang. Satu peristiwa dikaitkan dengan perjuangannya melawan kebanggaan akan ilmu. Yang lain dikaitkan dengan perjuangannya melawan kesulitan-kesulitan ekonomi, yang menghalangi seseorang dalam perjalanan ruhaniahnya. Kesadaran aka kekuatan dan kecemasan akan kesenangan merupakan kelemahan terakhir yang mesti enyah dari benak seorang salih. Dan setelah berhasil mengatasi dua musuh abadi ruhani inilah, maka orang layak menjadi pemimpin sejati manusia.[9]

d.      Panutan Masyarakat
           
Kini sang Syaikh telah lulus dari ujian-ujian tersebut. Maka semua tutur kata atau tegurannya, tak lagi berasal dari nalar, tetapi berasal dari ruhaninya. Kala ia memperoleh ilham, sebagaimana sang Syaikh sendiri ingin menyampaikannya, keyakinan Islami melemah. Sebagian muslim terlena dalam pemuasan jasmani, dan sebagian lagi puas dengan ritus-ritus dan upacara-upacara keagamaan. Semangat keagamaan tak dapat ditemui lagi.

Pada saat ini, ia mempunyai mimpi penting tentang masalah ini. Ia melihat dalam mimpi itu, seolah-olah sedang menelusuri sebuah jalan di Baghdad, yang di situ seorang kurus kering sedang berbaring di sisi jalan, menyalaminya, sang Syaikh menjawab ucapan salamnya, orang itu memintanya untuk membantunya duduk. Begitu beliau membantunya, orang itu duduk dengan tegap, dan secara menakjubkan tubuhnya menjadi besar. Melihat sang Syaikh terperanjat, orang asing itu menentramkannya dengan kata-kata: " Akulah agama kakekmu, aku menjadi sakit dan sengsara, tetapi Allah telah menyehatkanku kembali melalui bantuanmu."

Ini terjadi pada malam penampilannya di depan umum di masjid, dan menunjukkan karir mendatang sang wali. Kemudian masyarakat tercerahkan, menamainya Muhyiddin, 'pembangkit keimanan', gelar yang kemudian dipandang sebagai bagian dari namanya yang termasyhur. Meski telah ia tinggalkan kesendiriannya (uzlah), ia tak jua berkhutbah di depan umum. Selama sebelas tahun berikutnya, ia mukim di sebuah sudut kota, dan meneruskan praktek-praktek peribadatan, yang kian mempercerah ruhaniyah.

e.      Kehidupan Rumah Tangga

Menarik untuk dicatat, bahwa penampilannya di depan umum selaras dengan kehidupan perkawinannya. Sampai tahun 521 H, yakni pada usia kelima puluh satu, ia tak pernah berpikir tentang perkawinannya. Bahkan ia menganggapnya sebagai penghambat upaya ruhaniyahnya. Tetapi, begitu beliau berhubungan dengan orang-orang, demi mematuhi perintah Rasul dan mengikuti Sunnahnya, ia pun menikahi empat wanita, semuanya saleh dan taat kepadanya. Ia mempunyai empat puluh sembilan anak - dua puluh putra, dan yang lainnya putri.

Empat putranya yang termasyhur akan kecendekian dan kepakarannya, al: Syaikh Abdul Wahab, putera tertua adalah seorang alim besar, dan mengelola madrasah ayahnya pada tahun 543 H. Sesudah sang wali wafat, ia juga berkhutbah dan menyumbangkan buah pikirannya, berkenaan dengan masalah-masalah syariat Islam. Ia juga memimpin sebuah kantor negara, dan demikian termasyhur.

Syaikh Isa, ia adalah seorang guru hadits dan seorang hakim besar. Dikenal juga sebagai seorang penyair. Ia adalah seorang khatib yang baik, dan juga Sufi. Ia mukim di Mesir, hingga akhir hayatnya. Syaikh Abdul Razaq. Ia adalah seorang alim, sekaligus penghafal hadits. Sebagaimana ayahnya, ia terkenal taqwa. Ia mewarisi beberapa kecenderungan spiritual ayahnya, dan sedemikian masyhur di Baghdad, sebagaimana ayahnya.

Syaikh Musa. Ia adalah seorang alim terkenal. Ia hijrah ke Damaskus, hingga wafat.
Tujuh puluh delapan wacana sang wali sampai kepada kita melalui Syaikh Isa. Dua wacana terakhir, yang memaparkan saat-saat terakhir sang wali, diriwayatkan oleh Syaikh Wahab. Syaikh Musa termaktub pada wacana ke tujuh puluh sembilan dan delapan puluh. Pada dua wacana terakhir nanti disebutkan, pembuatnya adalah Syaikh Abdul Razaq dan Syaikh Abdul Aziz, dua putra sang wali, dengan diimlakkan oleh sang wali pada saat-saat terakhirnya.[10]

f.        Kesehariannya

Sebagaimana telah kita saksikan, sang wali bertabligh tiga kali dalam seminggu. Di samping bertabligh setiap hari, pada pagi dan malam hari, ia mengajar tentang Tafsir Al Qur'an, Hadits, Ushul Fiqih, dan mata pelajaran lain. Sesudah Dhuhur, ia memberikan fatwa atas masalah-masalah hukum, yang diajukan kepadanya dari segenap penjuru dunia. Sore hari, sebelum sholat Maghrib, ia membagi-bagikan roti kepada fakir miskin. Sesudah sholat Maghrib, ia selalu makan malam, karena ia berpuasa sepanjang tahun. Sebalum berbuka, ia menyilakan orang-orang yang butuh makanan di antara tetangga-tetangganya, untuk makan malam bersama. Sesudah sholat Isya', sebagaimana kebiasaan para wali, ia mengaso di kamarnya, dan melakukan sebagian besar waktu malamnya dengan beribadah kepada Allah - suatu amalan yang dianjurkan Qur'an Suci. Sebagai pengikut sejati Nabi, ia curahkan seluruh waktunya di siang hari, untuk mengabdi ummat manusia, dan sebagian besar waktu malam dihabiskan untuk mengabdi Penciptanya.

g.      Pengaruh dan Karya

Waktunya banyak diisi dengan meengajar dan bertausyiah. Hal ini membuat Syekh tidak memiliki cukup waktu untuk menulis dan mengarang. Bahkan, bisa jadi beliau tidak begitu tertarik di bidang ini. Pada tiap disiplin ilmu, karya-karya Islam sudah tidak bisa dihitung lagi. Bahkan, sepertinya perpustakaan tidak butuh lagi diisi buku baru. Yang dibutuhkan masyarakat justru saran seorang yang bisa meluruskan yang bengkok dan membenahi kesalahan masyarakat saat itu. Inilah yang memanggil suara hati Syekh. Ini pula yang menjelaskan pada kita mengapa tidak banyak karya yang ditulis Syekh. Memang ada banyak buku dan artikel yang diklaim sebagai tulisannya. Namun, yang disepakati sebagai karya syekh hanya ada tiga:

1.      Al-Ghunyah li Thalibi Thariq al-Haqq merupakan karyanya yang mengingatkan kita dengan karya monumental al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulum al-Din. Karya ini jelas sekali terpengaruh, baik tema maupun gaya bahasanya, dengan karya al-Ghazali itu. Ini terlihat dengan penggabungan fikih, akhlak, dan prinsip suluk. Ia memulai dengan membincangkan aspek ibadah, dilanjutkan dengan etika Islam, etika doa, keistimewaan hari dan bulan tertentu. Ia kemudian membincangkan juga anjuran beribadah sunah, lalu etika seorang pelajar, tawakal, dan akhlak yang baik.[11]

2.      Al-Fath al-Rabbani wa al-Faydh al-Rahmani merupakan bentuk tertulis (transkripsi) dari kumpulan tausiah yang pernah disampaikan Syekh. Tiap satu pertemuan menjadi satu tema. Semua pertemuan yang dibukukan ada 62 kali pertemuan. Pertemuan pertama pada 3 Syawal 545 H. Pertemuan terakhir pada hari Jumat, awal Rajab 546 H. Jumlah halamannya mencapai 90 halaman. Format buku ini mirip dengan format pengajian Syekh dalam berbagai majelisnya. Sebagiannya bahkan berisi jawaban atas persoalan yang muncul pada forum pengajian itu.[12]

3.      Futuh al-Ghayb merupakan kompilasi dari 78 artikel yang ditulis Syekh berkaitan dengan suluk, akhlak, dan yang lain. Tema dan gaya bahasanya sama dengan al-Fath al-Rabbani. Keseluruhan halamannya mencapai 212 halaman. Buku ini sendiri sebetulnya hanya 129 halaman. Sisa halamannya diisi dengan himpunan senandung pujian yang dinisbatkan pada Syekh. Ibn Taymiyah juga memuji buku ini.

h.      Kesaksian Ulama

Syekh Junaid al-Baghdadi, hidup 200 tahun sebelum kelahiran Syekh Abdul Qadir. Namun, pada saat itu ia telah meramalkan akan kedatangan Syekh Abdul Qadir Jailani. Suatu ketika Syekh Junaid al-Baghdadi sedang bertafakur, tiba-tiba dalam keadaan antara sadar dan tidak, ia berkata, “Kakinya ada di atas pundakku! Kakinya ada di atas pundakku!” Setelah ia tenang kembali, murid-muridnya menanyakan apa maksud ucapan beliau itu. Kata Syekh Junaid al-Baghdadi, "Aku diberitahukan bahwa kelak akan lahir seorang wali besar, namanya adalah Abdul Qadir yang bergelar Muhyiddin. Dan pada saatnya kelak, atas kehendak Allah, ia akan mengatakan, ‘Kakiku ada di atas pundak para Wali." Syekh Abu Bakar ibn Hawara, juga hidup sebelum masa Syekh Abdul Qadir. Ia adalah salah seorang ulama terkemuka di Baghdad. Konon, saat ia sedang mengajar di majelisnya, ia berkata: "Ada 8 pilar agama (autad) di Irak, mereka itu adalah; 1) Syekh Ma'ruf al Karkhi, 2) Imam Ahmad ibn Hanbal, 3) Syekh Bisri al Hafi, 4) Syekh Mansur ibn Amar, 5) Syekh Junaid al-Baghdadi, 6) Syekh Siri as-Saqoti, 7) Syekh Abdullah at-Tustari, dan 8) Syekh Abdul Qadir Jailani."

Ketika mendengar hal itu, seorang muridnya yang bernama Syekh Muhammad ash-Shanbaki bertanya, "Kami telah mendengar ke tujuh nama itu, tapi yang ke delapan kami belum mendengarnya. Siapakah Syekh Abdul Qadir Jailani?"
Maka Syekh Abu Bakar pun menjawab, "Abdul Qadir adalah shalihin yang tidak terlahir di Arab, tetapi di Jaelan (Persia) dan akan menetap di Baghdad."
Qutb al Irsyad Abdullah ibn Alawi al Haddad (1044-1132 H), dalam kitabnya Risalatul Mu'awanah menjelaskan tentang tawakkal, dan beliau memilih Syekh Abdul Qadir Jaylani sebagai suri-teladannya.

Seorang yang benar-benar tawakkal mempunyai 3 tanda. Pertama, ia tidak takut ataupun mengharapkan sesuatu kepada selain Allah. Kedua, hatinya tetap tenang dan bening, baik di saat ia membutuhkan sesuatu atau pun di saat kebutuhannnya itu telah terpenuhi. Ketiga, hatinya tak pernah terganggu meskipun dalam situasi yang paling mengerikan sekalipun.

Suatu ketika beliau sedang berceramah di suatu majelis, tiba-tiba saja jatuh seekor ular berbisa yang sangat besar di atas tubuhnya sehingga membuat para hadirin menjadi panik. Ular itu membelit Syekh Abdul Qadir, lalu masuk ke lengan bajunya dan keluar lewat lengan baju yang lainnya. Sedangkan beliau tetap tenang dan tak gentar sedikit pun, bahkan beliau tak menghentikan ceramahnya. Ini membuktikan bahwa Syekh Abdul Qadir Jailani benar-benar seorang yang tawakkal dan memiliki karamah.[13]

Ibnu Rajab juga berkata, "Syekh Abdul Qadir Al Jailani memiliki pendapat yang bagus dalam masalah tauhid, sifat-sifat Allah, takdir, dan ilmu-ilmu makrifat yang sesuai dengan sunnah. Beliau memiliki kitab Al Ghunyah Li Thalibi Thariqil Haq, kitab yang terkenal. Beliau juga mempunyai kitab Futuhul Ghaib. Murid-muridnya mengumpulkan perkara-perkara yang banyak berkaitan dengan nasehat dari majelis-majelis beliau. Dalam masalah-masalah sifat, takdir dan lainnya, ia berpegang pada sunnah. "Al-Dzahabi juga berkata, "Tidak ada seorangpun para ulama besar yang riwayat hidup dan karamahnya lebih banyak kisah hikayat, selain Syekh Abdul Qadir Al Jailani, dan banyak di antara riwayat-riwayat itu yang tidak benar bahkan ada yang mustahil terjadi."

i.        Sayidi Abdul Qadir dan Perampok

Setelah menginjak masa remaja, sayidi Abdul Qadir meminta izin pada sang ibu untuk pergi menuntut ilmu. Oleh sang ibu, ia dibekali sejumlah uang yang tidak sedikit, dengan disertai pesan agar ia tetap menjaga kejujurannya, jangan sekali-sekali berbohong pada siapapun. Maka, berangkatlah sayidi Abdul Qadir muda untuk memulai pencarian ilmunya. Namun ketika perjalanannya hampir sampai di daerah Hamadan, tiba-tiba kafilah yang ditumpanginya diserbu oleh segerombolan perampok hingga kocar-kacir. Salah seorang perampok menghampiri sayidi Abdul Qadir, dan bertanya,“Apa yang engkau punya?”

Sayidi Abdul Qadir pun menjawab dengan terus terang bahwa ia mempunyai sejumlah uang di dalam kantong bajunya. Perampok itu seakan-akan tidak percaya dengan kejujuran sayidi Abdul Qadir. Bagaimana mungkin ada orang mengaku memiliki uang kepada perampok. Kemudian perampok itupun melapor pada pimpinannya. Sang pemimpin perampokpun segera menghampiri sayidi Abdul Qadir dan menggeledah bajunya. Ternyata benar, di balik bajunya itu memang ada sejumlah uang yang cukup banyak. Kepala perampok itu benar-benar dibuat seolah tidak percaya. Ia lalu berkata kepada sayidi Abdul Qadir, “Kenapa kau tidak berbohong saja ketika ada kesempatan untuk itu?” Maka sayidi Abdul Qadir pun menjawab, “Aku telah dipesani oleh ibundaku untuk selalu berkata jujur. Dan aku tak sedikitpun ingin mengecewakan beliau.”

Sejenak kepala rampok itu tertegun dengan jawaban sayidi Abdul Qadir, lalu berkata: “Sungguh engkau sangat berbakti pada ibumu, dan engkau pun bukan orang sembarangan.”Kemudian kepala perampok itu menyerahkan kembali uang itu pada sayidi Abdul Qadir dan melepaskannya pergi. Sejak pertemuannya dengan kekasih Allah sayidi Abdul Qodir al-Jailani, tak lama kemudian sang perampok menjadi insyaf dan membubarkan gerombolan perampoknya.[14]

j.        Mengembara

Pencarian ilmunya berlanjut. Kemudian berangkatlah sayidi Abdul Qadir ke Baghdad. Baghdad adalah ibukota Irak. Saat itu Baghdad adalah sebuah kota yang paling ramai di dunia. Di Baghdad berkembang segala aktiitas manusia. Ada yang datang untuk berdagang, mencari pekerjaan bahkan menuntut ilmu. Baghdad merupakan tempat berkumpulnya para ulama besar pada saat itu. Saat itu tahun 488 H. Usia sayidi Abdul Qadir baru 18 tahun. Pada saat itu, khalifah atau penguasa yang memimpin Baghdad adalah Khalifah Muqtadi bi-Amrillah dari dinasti Abbasiyyah.[15]

Ketika Syaikh Abdul Qadir hampir memasuki kota Baghdad, ia dihentikan oleh Sayidna Khidir as. Sayidna Khidir adalah seorang wali Allah yang disebut dalam Al-Qur'an dan diyakini para ulama masih hidup hingga kini. Saat menemui syaikh Abdul Qadir, Nabi Khidir mencegahnya masuk ke kota Bagdad itu. Nabi Khidir berkata, “Aku tidak mempunyai perintah (dari Allah) untuk mengijinkanmu masuk (ke Baghdad) sampai tujuh tahun ke depan.”

k.      Tujuh Tahun Tinggal di Tepi Sungai

Tentu saja Sayidi Abdul Qadir bingung.mengapa ia tidak diperbolehkan masuk ke kota Baghdad selama tujuh tahun? Tetapi syaikh Abdul Qadir tahu, bahwa jika yang mengatakan itu adalah sayidina Khidir, tentu dia harus mengikuti perntahnya tersebut. Oleh karena itu, syaikh Abdul Qadir pun kemudian menetap di tepi sungai Tigris selama tujuh tahun. Tentu sangat berat. Ia yang selama di rumah bisa hidup bersama orang tua dan saudara-saudaranya di rumah, sekarang harus hidup sendiri di tepi sungai. Tidak ada yang dapat dimakannya kecuali daun-daunan. Maka selama tujuh tahun itu ia memakan dedaunan dan sayuran yang bisa dimakan. Pada suatu malam ia tertidur pulas, sampai akhirnya ia terbangun di tengah malam. Ketika itu ia mendengar suara yang jelas ditujukan kepadanya. Suara itu berkata, “Hai Abdul Qadir, masuklah ke Baghdad.”

Keesokan harinya, ia melanjutkan perjalanan ke Baghdad. Maka, ia pun masuk ke Baghdad. Di kota itu ia berjumpa dengan para Syaikh, tokoh-tokoh sufi, dan para ulama besar. Di antaranya adalah Syaikh Yusuf al Hamadani. Dari dialah syaikh Abdul Qadir mendapat ilmu tentang tasawuf. Syaikh al Hamadani sendiri telah menyaksikan bahwa syaikh Abdul Qadir adalah seorang yang istimewa, dan kelak akan menjadi seorang yang terkemuka di antara para wali.

l.        Berguru Kepada Para Ulama Besar

Syaikh al-Hamdani berkata, “Wahai Abdul Qadir, sesungguhnya aku telah melihat bahwa kelak engkau akan duduk di tempat yang paling tinggi di Baghdad, dan pada saat itu engkau akan berkata, ˜Kakiku ada di atas pundak para wali.” Selain berguru kepada Syaikh Hamdani, syaikh Abdul Qadir bertemu dengan Syaikh Hammad ad-Dabbas. Iapun berguru pula kepadanya. Dari Syaikh Hammad, syaikh Abdul Qadir mendapatkan ilmu tentang Tariqah yang akarnya adalah Syari’ah. Dalam tariqahnya, beliau mendekatkan diri kepada Allah dengan berdoa siang malam, berdzikir, bershalawat, berpuasa sunnah, bershadaqah, berzuhud dan berjihad (melawan nufus yang kotor), sebagaimana yang telah dicontohkan oleh baginda Rasulullah SAW.

Kemudian Syaikh Abdul Qadir berguru pada al Qadi Abu Said al Mukharimi. Di Babul Azaj, Syaikh al Mukharimi mempunyai madrasah kecil. Karena beliau telah tua, maka pengelolaan madrasah itu diserahkan kepada syekh Abdul Qadir. Dari situ syaikh Abdul Qadir berdakwah kepada masyarakat, baik yang muslim maupun non-muslim. Dan dari Syaikh al Mukharimi itulah Syaikh Abdul Qadir menerima khirqah (jubah ke-sufi-an). Khirqoh itu secara turun-temurun telah berpindah tangan dari beberapa tokoh sufi yang agung. Di antaranya adalah Syaikh Junaid al-Baghdadi, Syaikh Siri as-Saqati, Syaikh Ma’ruf al Karkhi, dan sebagainya.

m.    Menjadi Ulama Besar

Syaikh Abdul Qadir tidak hanya berguru kepada para ulama di atas. Dia juga memperdalam ilmunya kepada para ulama besar yang lain. Di antaranya adalah Ibnu Aqil, Abul Khatthat, Abul Husein Al Farra dan juga Abu Sa'ad Al Muharrimi. Seluruh guru-guru Syaikh Abdul Qadir tersebut adalah para ulama besar yang ilmunya sangat luas dalam bidang agama. Sebab itulah, tidak heran jika kemudian Syaikh Abdul Qadir menjadi ulama besar menggantikan para ulama tersebut.[16]

Sebegaimana telah disebutkan, suatu ketika Abu Sa'ad Al Mukharrimi, guru Syaikh Abdul Qadir, membangun sekolah atau Madrasah yang bernama Babul Azaj. Pengelolaan sekolah ini diserahkan sepenuhnya kepada Syeikh Abdul Qadir Al Jailani. Beliau mengelola sekolah ini dengan sungguh-sungguh. Bermukim disana sambil memberikan nasehat kepada orang-orang yang ada tersebut. Banyak sudah orang yang bertaubat karena mendengar nasehat dan kalam hikmahnya beliau. Banyak orang yang bersimpati kepada beliau, lalu datang ke sekolah beliau. Sehingga sekolah itu tidak cukup untuk menampung orang yang datang ingin berguru kepada Syaikh Abdul Qadir.

Pada tahun 521 H/1127 M, dia mengajar dan berfatwa dalam semua madzhab. Ia berdakwah kepada semua lapisan masyarakat, hingga dikenal masyarakat luas. Selama 25 tahun Syaikh Abdul Qadir Jailani menghabiskan waktunya sebagai pengembara sufi di Padang Pasir Iraq. Akhirnya beliau dikenal oleh dunia sebagai tokoh sufi besar dunia Islam. Selain itu dia memimpin madrasah dan ribath di Baghdad yang didirikan sejak 521 H sampai wafatnya di tahun 561 H.

Madrasah itu tetap bertahan dengan dipimpin anaknya, syaikh Abdul Wahab (552-593 H/1151-1196 M). Kemudian diteruskan anaknya syaikh Abdul Salam (611 H/1214 M). Juga dipimpin anak kedua Syaikh Abdul Qadir Jailani, syaikh Abdul Razaq (528-603 H/1134-1206 M). Namun sayang sekali, sekolah yang besar itu akhirnya hancur ketika Baghdad diserang oleh tentara Mongol yang biadab pada tahun 656 H/1258 M.

Syeikh Abdul Qadir Jailani juga dikenal sebagai pendiri sekaligus penyebar salah satu tarekat terbesar di dunia bernama tarekat Qadiriyah, bahkan beliau adalah salah satu dari al-Auliya' al-Aqthab al-Arba'ah (empat wali qutub / imam ilmu hakikat), yaitu sayidi Ahmad al-Rifa'i, sayidi Abdul Qodir al-Jailani, sayidi Ahmad al-Badawi, sayidi Ibrahim ad-Dusuqi.[17]

n.      Kesaksian Para Syaikh

Syaikh Junaid al-Baghdadi, hidup 200 tahun sebelum kelahiran Syaikh Abdul Qadir. Namun, pada saat itu ia telah meramalkan akan kedatangan Syaikh Abdul Qadir Jailani. Suatu ketika Syaikh Junaid al-Baghdadi sedang bertafakkur, tiba-tiba dalam keadaan antara sadar dan tidak, ia berkata, "Kakinya ada di atas pundakku! Kakinya ada di atas pundakku!". Setelah ia tenang kembali, murid-muridnya menanyakan apa maksud ucapan beliau itu. Kata Syaikh Junaid al-Baghdadi, “Aku diberitahukan bahwa kelak akan lahir seorang wali besar, namanya adalah Abdul Qadir yang bergelar Muhyiddin. Dan pada saatnya kelak, atas kehendak Allah, ia akan mengatakan, ˜Kakiku ada di atas pundak para Wali.”

Syaikh Abu Bakar ibn Hawara, juga hidup sebelum masa Syaikh Abdul Qadir. Ia adalah salah seorang ulama terkemuka di Baghdad. Konon, saat ia sedang mengajar di majelisnya, ia berkata:
“Ada 8 pilar agama (autad) di Irak, mereka itu adalah; 1) Syaikh Ma’ruf al Karkhi, 2) Imam Ahmad ibn Hanbal, 3) Syaikh Bisri al Hafi, 4) Syaikh Mansur ibn Amar, 5) Syaikh Junaid al-Baghdadi, 6) Syaikh Siri as-Saqoti, 7) Syaikh Abdullah at-Tustari, dan Syaikh Abdul Qadir Jailani.” Ketika mendengar hal itu, seorang muridnya yang bernama Syaikh Muhammad ash-Shanbaki bertanya, “Kami telah mendengar ke tujuh nama itu, tapi yang ke delapan kami belum mendengarnya. Siapakah Syaikh Abdul Qadir Jailani?”

 Syaikh Abu Bakar pun menjawab, “Abdul Qadir adalah orang salih yang tidak terlahir di Arab, tetapi di Jaelan (Persia) dan akan menetap di Baghdad.” Qutb al Irsyad Abdullah ibn Alawi al Haddad ra. (1044-1132 H), dalam kitabnya “Risalatul Mu’awanah” menjelaskan tentang tawakkal, dan beliau memilih Syaikh Abdul Qadir Jailani sebagai suri-teladannya. Seorang yang benar-benar tawakkal mempunyai 3 tanda. Pertama, ia tidak takut ataupun mengharapkan sesuatu kepada selain Allah. Kedua, hatinya tetap tenang dan bening, baik di saat ia membutuhkan sesuatu ataupun di saat kebutuhannnya itu telah terpenuhi. Ketiga, hatinya tak pernah terganggu meskipun dalam situasi yang paling mengerikan sekalipun. Dalam hal ini, contohnya adalah Syaikh Abdul Qadir Jailani. Suatu ketika beliau sedang berceramah di suatu majelis, tiba-tiba saja jatuh seekor ular berbisa yang sangat besar di atas tubuhnya sehingga membuat para hadirin menjadi panik. Ular itu membelit Syaikh Abdul Qadir, lalu masuk ke lengan bajunya dan keluar lewat lengan baju yang lainnya. Sedangkan beliau tetap tenang dan tak gentar sedikitpun, bahkan beliau tak menghentikan ceramahnya. Ini membuktikan bahwa Syaikh Abdul Qadir Jailani benar-benar seorang yang bertawakkal dan memiliki karamah.[18]

Syaikh Hafidz al Barzali, mengatakan, “Syaikh Abdul Qadir Jailani adalah seorang ahli fiqih dari madzhab Hanbali dan Syafi’i sekaligus, dan merupakan Syaikh (guru besar) dari penganut kedua madzhab tersebut. Dia adalah salah satu pilar Islam yang doa-doanya selalu makbul, setia dalam berdzikir, tekun dalam tafakkur dan berhati lembut. Dia adalah seorang yang mulia, baik dalam akhlak maupun garis keturunannya, bagus dalam ibadah maupun ijtihadnya.”Syaikh Abdullah al Jubba’i mengatakan:
“Syaikh Abdul Qadir Jailani mempunyai seorang murid yang bernama Umar al Halawi. Dia pergi dari Baghdad selama bertahun-tahun, dan ketika ia pulang, aku bertanya padanya: “Kemana saja engkau selama ini, ya Umar?” Dia menjawab: “Aku pergi ke Syiria, Mesir, dan Persia. Di sana aku berjumpa dengan 360 Syaikh yang semuanya adalah waliyullah. Tak satu pun di antara mereka tidak mengatakan: “Syaikh Abdul Qadir Jailani adalah Syaikh kami, dan pembimbing kami ke jalan Allah.”

o.      Kisah Yang Terkenal

Pada suatu malam ketika beliau sedang bermunajat kepada Allah yang panjang. Tiba-tiba muncul seberkas cahaya terang. Bersamaa dengan itu, terdengar suara, “Wahai Syaikh, telah kuterima ketaatanmu dan segala pengabadian dan penghambaanmu, maka mulai hari ini kuhalalkan segala yang haram dan kubebaskan kau dari segala ibadah”. Abdul Qadir Jailanai mengambil sandalnya dan melemparkan ke cahaya tersebut dan menghardik “Pergilah kau syetan laknatullah!”. Cahaya itu hilang lalu terdengar suara “Dari manakah kau tau aku adalah syetan?,” Syaikh Abdul Qadir menjawab, Aku tahu kau syetan adalah dari ucapanmu. Kau berkata telah menghalalkan yang haram dan membebaskanku dari syariat, sedangkan Nabi Muhammad SAW saja kekasih Allah masih menjalankan syariat dan mengharamkan yang haram. Syetan berkata lagi, Sungguh keluasan ilmumu telah menyelamatkanmu. Syaikh Abdul Qadir berkata, Pergilah kau syetan laknattullah! Aku selamat karena rahmat dari Alah Swt. bukan karena keluasan ilmuku.[19]

p.      Syaikh Abdul Qadir dan Anak Seorang Wanita Miskin

Suatu saat, seorang wanita membawa anak laki-lakinya kepada Syaikh Abdul Qadir Jailani. Wanita itu berkata, Ya Sayidi, aku tahu bahwa Anda adalah Ghawts, dan aku tahu demi kehormatan dari Nabi, engkau memberi. Wanita itu adalah seorang wanita yang miskin. Ia selalu menghadiri suhbat (asosiasi), dan ia melihat seluruh murid Syaikh menghadiri suhbat (nasihat) dan dzikir. Di hadapan setiap orang ada seekor ayam yang kemudian mereka makan. Wanita itu berkata pada dirinya sendiri, Alhamdulillah, aku miskin dan Sayyidina Abdul Qadir kaya baik di dunia maupun di akhirat. Aku akan suruh anakku untuk duduk di sana. Setidaknya ia akan ikut makan di pagi dan malam hari. Ia berkata, "Aku ingin anakku menjadi muridmu".

Beliau menerimanya. Anak itu adalah seorang anak yang berbadan cukup gemuk. Beliau menyuruh seorang murid, Muhamad Ahmad, "Bawa dia ke ruang bawah tanah dan berikan padanya award (roti kering) untuk khalwat (menyepi). Berikan untuknya sekerat roti dan minyak zaitun untuk makan setiap hari". Wanita tadi datang setelah satu bulan dan berpikir bahwa anak laki-lakinya pasti makan ayam setiap harinya. Saat datang itu, ia melihat para murid Syaikh duduk dan sedang makan ayam. Wanita itu bertanya pada Syaikh tentang anaknya. Syaikh Abdul Qadir menjawab, "Ia sedang di ruang bawah tanah memakan makanan yang istimewa". Wanita itu senang, karena ia berpikir bahwa kalau para murid saja sedang makan ayam, pastilah anaknya sedang makan sapi. Wanita itupun turun ke bawah dan melihat anak laki-lakinya. Dilihatnya anaknya tampak sangat kurus. Tapi, dia sedang duduk, membaca doa, berdzikir, dan cahaya memancar dari wajahnya.

Wanita itu mendatanginya. ia melihat sekerat roti di situ. Ia berkata, Apa ini?
Anaknya menjawab, Itulah yang aku makan, sekerat roti setiap hari. Wanita itu kecewa. Ia kemudian mendatangi Syaikh Abdul Qadir dan berkata, "Aku membawa anakku untuk bersamamu". Saat wanita itu berbicara, sang Syaikh memerintahkan para muridnya, "Makan"

Setiap murid memakan ayam dihadapannya masing- masing. Yang dimakan bukan potongan-potongan, tapi ayam yang utuh yang telah masak. Lalu di kumpulkan tulang-tulang ayamnya. lalu beliau mengatakan " Wahai tulang-belulang, hiduplah dengan izinku"! Maka seketika tulang-belulang itu kembali hidup menjadi wujud ayam seperti sedia kala. Kemudian beliau berkata pada wanita itu, "Jika kau ingin anakmu mencapai suatu tingkat untuk dapat memakan ayam, maka ia harus lebih dahulu menjalani tarbiyah atau pelatihan". Tarbiyah itu adalah untuk membina dan melatih pikiran, yang merupakan hal paling sulit. Itulah yang diperlukan. Seorang yang ingin senang tentu harus berusaha keras untuk mencapainya. Demikian juga orang yang ingin berhasil, maka ia harus belajar dengan sungguh-sungguh sebagaimana dikatakan Syekh Abdul Qadir di atas.

q.      Dalam Suatu Perjalanan

Pada suatu saat, Syaikh Abdul Qadir sedang berada dalam suatu perjalanan. Perjalanan yang ditempuhnya benar-benar berat. Ia harus melewati gurun padang pasir. Berhari-hari lamanya ia tidak menemukan air. Syaikh Abdul Qadir sudah sangat kehausan. Tiba-tiba muncul segerombolan awan di langit. Awan itu seolah melindunginya. Dari awan itu jatuh tetesan air. Maka Syaikh Abdul Qadir segera meminum tetesan air dari atas itu. Hilanglah rasa dahaganya.

Kemudian aku melihat cahaya terang benderang, tiba-tiba ada suara memanggilku, "Wahai Abdul Qadir, Aku Rabbmu dan Aku telah halalkan segala yang haram kepadamu" Maka Abdul Qodir berkata: Pergilah wahai engkau Syetan terkutuk. Tiba-tiba awan itu berubah menjadi gelap dan berasap. Kemudian ada suara yang mengucapkan: "Wahai Abdul Qadir, engkau telah selamat dariku (syetan) dengan amalmu dan fiqihmu. Dan beliau berkata: "Bukan amal dan ilmu fiqihku yang telah menyelamatkanku, akan tetapi rahmat Allahlah yang menyelamatkanku". Demikian sedikit kisah tentang Abdul Qodir.

Syaikh Abdul Qadir memiliki 49 orang anak, 27 di antaranya adalah laki-laki. Beliaulah yang mendirikan tariqat al-Qadiriyah. Di antara tulisan beliau antara lain kitab

o       Al-Fathu Ar-Rabbani,
o       Al-Ghunyah li Thalibi Thariq Al-Haq dan
o       Futuh Al-Ghaib.

Beliau wafat pada tanggal 10 Rabi'ul Akhir tahun 561 H bertepatan dengan 1166 M pada saat usia beliau 90 tahun.[20]

r.       Pertemuan Jailani dengan al-Hamadani

Abu Sa'id Abdullah ibn Abi Asrun (w. 585 H.), seorang imam dari Mazhab Syafi'i, berkata, "Di awal perjalananku mencari ilmu agama, aku bergabung dengan Ibn al-Saqa, seorang pelajar di Madrasah Nizamiyyah, dan kami sering mengunjungi orang-orang saleh. Aku mendengar bahwa di Baghdad ada orang bernama Yusuf al-Hamadani yang dikenal dengan sebutan al-Ghawts. Ia bisa muncul dan menghilang kapan saja sesuka hatinya.

Maka aku memutuskan untuk mengunjunginya bersama Ibn al-Saqa dan Syaikh Abdul Qadir Jailani, yang pada waktu itu masih muda. Ibn al-Saqa berkata, Apabila bertemu dengan Yusuf al-Hamadani, aku akan menanyakan suatu pertanyaan yang jawabannya tak akan ia ketahui.Aku menimpali, Aku juga akan menanyakan satu pertanyaan dan aku ingin tahu apa yang akan ia katakan.

Sementara Syaikh Abdu-Qadir Jailani berkata, Ya Allah, lindungilah aku dari menanyakan suatu pertanyaan kepada seorang suci seperti Yusuf al-Hamadani Aku akan menghadap kepadanya untuk meminta berkah dan ilmu tauhidnya". Maka, kami pun memasuki majelisnya. Ia sendiri terus menutup diri dari kami dan kami tidak melihatnya hingga beberapa lama. Saat bertemu, ia memandang kepada Ibn al-Saqa dengan marah dan berkata, tanpa ada yang memberitahu namanya sebelumnya, Wahai Ibn al-Saqa, bagaimana kamu berani menanyakan pertanyaan kepadaku dengan niat merendahkanku? Pertanyaanmu itu adalah ini dan jawabannya adalah ini! dan ia melanjutkan, Aku melihat api kekufuran menyala di hatimu.

Kemudian ia melihat kepadaku dan berkata, "Wahai hamba Allah, apakah kamu menanyakan satu pertanyaan kepadaku dan menunggu jawabanku? Pertanyaanmu itu adalah ini dan jawabannya adalah ini. Biarlah orang-orang bersedih karena tersesat akibat ketidaksopananmu kepadaku". Kemudian ia memandang kepada Syaikh Abdul Qadir Jailani, mendudukkannya bersebelahan dengannya, dan menunjukkan rasa hormatnya. Ia berkata,"Wahai Abdul Qadir, kau telah menyenangkan Allah dan Nabi-Nya dengan rasa hormatmu yang tulus kepadaku. Aku melihatmu kelak akan menduduki tempat yang tinggi di kota Baghdad. Kau akan berbicara, memberi petunjuk kepada orang-orang, dan mengatakan kepada mereka bahwa kedua kakimu berada di atas leher setiap wali. Dan aku hampir melihat di hadapanku setiap wali pada masamu memberimu hak lebih tinggi karena keagungan kedudukan spiritualmu dan kehormatanmu".

Ibn Abi Asrun melanjutkan, Kemasyhuran Abdul Qadir makin meluas dan semua ucapan Syaikh al-Hamadani tentangnya menjadi kenyataan hingga tiba waktunya ketika ia mengatakan, ˜Kedua kakiku berada di atas leher semua wali". Syaikh Abdul Qadir menjadi rujukan dan lampu penerang yang memberi petunjuk kepada setiap orang pada masanya menuju tujuan akhir mereka.

Berbeda keadaannya dengan Ibn Saqa. Ia menjadi ahli hukum yang terkenal. Ia mengungguli semua ulama pada masanya. Ia sangat suka berdebat dengan para ulama dan mengalahkan mereka hingga Khalifah memanggilnya ke lingkungan istana. Suatu hari Khalifah mengutus Ibn Saqa kepada Raja Bizantium, yang kemudian memanggil semua pendeta dan pakar agama Nasrani untuk berdebat dengannya. Ibn al-Saqa sanggup mengalahkan mereka semua. Mereka tidak berdaya memberi jawaban di hadapannya. Ia mengungkapkan berbagai argumen yang membuat mereka tampak seperti anak-anak sekolahan.

Kepandaiannya mempesona Raja Bizantium itu yang kemudian mengundangnya ke dalam pertemuan pribadi keluarga Raja. Pada saat itulah ia melihat putri raja. Ia jatuh cinta kepadanya, dan ia pun melamar sang putri untuk dinikahinya. Sang putri menolak kecuali dengan satu syarat, yaitu Ibn Saqa harus menerima agamanya. Ia menerima syarat itu dan meninggalkan Islam untuk memeluk agama sang putri, yaitu Nasrani. Setelah menikah, ia menderita sakit parah sehingga mereka melemparkannya ke luar istana. Jadilah ia peminta-minta di dalam kota, meminta makanan kepada setiap orang meski tak seorang pun memberinya.

s.       Kegelapan Menutupi Mukanya

Suatu hari seseorang melihat Ibnu al-Saqa. Orang yang bertemu dengan Ibn al-Saqa itu menceritakan bahwa ia bertanya kepadanya, "Apa yang terjadi kepadamu"? Ibn al-Saqa menjawab, Aku terperosok ke dalam godaan. Orang itu bertanya lagi, Adakah yang kau ingat dari Al Quran Suci? Ibnu al-Saqa menjawab, Aku ingat ayat yang berbunyi,
$yJt/ Šuqtƒ tûïÏ%©!$# (#rãxÿŸ2 öqs9 (#qçR%x. tûüÏJÎ=ó¡ãB ÇËÈ  
˜Sering kali orang-orang kafir itu menginginkan sekiranya saja dulu mereka itu menjadi orang Islam". (Q.S. al-Hijr [15]: 2).

Orang itu menceritakan Ibnu al-Saqa gemetar seakan-akan sedang meregang nyawa. Aku berusaha memalingkan wajahnya ke Ka’bah, tetapi ia terus saja menghadap ke timur. Sekali lagi aku berusaha mengarahkannya ke Ka’bah, tetapi ia kembali menghadap ke timur. Hingga tiga kali aku berusaha, namun ia tetap menghadapkan wajahnya ke timur. Kemudian, bersamaan dengan keluarnya ruh dari jasadnya, ia berkata, "Ya Allah, inilah akibat ketidakhormatanku kepada wali-Mu, Yusuf al-Hamadani".

Sementara salah satu orang yang dulu menemui syaikh al-Hamadani, Ibn Abi Asrun menceritakan, Sementara aku sendiri mengalami kehidupan yang berbeda. Aku datang ke Damaskus dan raja di sana, Nuruddin al-Syahid, memintaku untuk mengurusi bidang agama, dan aku menerima tugas itu. Sebagai hasilnya, dunia datang dari setiap penjuru: kekayaan, makanan, kemasyhuran, uang, dan kedudukan selama sisa hidupku. Itulah apa yang diramalkan oleh al-Ghawts Yusuf al-Hamadani untukku.

t.        Wafat

Syekh wafat setelah menderita sakit ringan dalam waktu tidak lama. Bahkan, ada yang mengatakan, Syekh sakit hanya sehari—semalam. Ia wafat pada malam Sabtu, 10 Rabiul Awal 561 H. Saat itu usianya sudah menginjak 90 tahun. Sepanjang usianya dihabiskan untuk berbuat baik, mengajar, dan bertausiah. Konon, ketika hendak menemui ajal, putranya yang bernama ‘Abdul Wahhab memintanya untuk berwasiat. Berikut isi wasiat itu:
Bertakwalah kepada Allah. Taati Tuhanmu. Jangan takut dan jangan berharap pada selain Allah. Serahkan semua kebutuhanmu pada Allah Azza wa Jalla. Cari semua yang kamu butuhkan pada Allah. Jangan terlalu percaya pada selain Allah. Bergantunglah hanya pada Allah. Bertauhidlah! Bertauhidlah! Bertauhidlah! Semua itu ada pada tauhid.”[21]





















BAB III
PENUTUP

A.     Kesimpulan
Bahwa membaca manaqib Syekh Abdul Qadir al-Jilani adalah haram, didasarkan pada aqidah wahabi dan segolongannya, yang anti terhadap berbagai bentuk ritual Islam yang tidak ada tuntunannya di dalam al-Qur'an maupun as-Sunnah. Mereka beranggapan bahwa, segala bentuk ritual agama yang tidak ada tuntunannya adalah bid'ah. Dan mereka berpendapat bahwa "kullu bid'atin dlalalah" (setiap bid'ah atau perilaku baru yang tidak ada tuntunannya secara tekstual di dalam nash adalah bid'ah).
     Adapun menurut tuntunan kaum salaf, dalam aqidah ahlussunnah wal jamaah, membaca Manaqib para wali, itu baik (mustahab), karena dapat mendatangkan kecintaan terhadap para wali dan untuk bertawassul kepada para wali Allah. Adapun memberi makananitu hukumnya sunah, kalau dengan maksud untuk memberikan shadaqah dan bertujuan untuk memulyakan tamu. Dalam hadist dinyatakan, yang artinya, “Siapa yang beriman kepada Allah, supaya menghormati tamunya”.
Jelas bahwa tema dan objek dari karya-karya yang Manaqib membayar perhatian besar terhadap keunggulan dan kebajikan dari tokoh-seperti tindakan-Nya yang ajaib (khawariq)-adalah karakteristik, dan ini salah satu dari berbagai model dalam historiografi Islam, bahkan dalam ayat Al-Quran dan hadis Nabi. Supranatural fenomena (khawariq al-’adat) dapat dianggap sebagai fenomena historis sejauh realitas mereka bisa disaksikan dan dirasakan oleh sejumlah orang, maintly mereka yang tinggal di sekitar gambar. Adapun metodologi, digunakan sistem dengan pemancar yang paling bertanggung jawab. Selain itu, metode dan sumber-sumber pengetahuan sufistic di alam dalam bahwa karya Manaqib ditulis pada basis Karamah (bangsawan), BARAKAH (berkah), kasyf (wahyu), ru’yah sadiqah (mimpi yang benar) dan mushahadah ( witnes).




[1] Aswaja An-Nahdiliyah, Ajaran Ahlussunah wa-jamaah yang berlaku di lingkungan Nahdatul Ulama, Bab VI, Tradisi Dan Budaya. Halaman 31.

[3] Aswaja An-Nahdiliyah, Ajaran Ahlussunah wa-jamaah yang berlaku di lingkungan Nahdatul Ulama, Bab VI, Tradisi Dan Budaya. Halaman 34-35.

[4]  Aula Mjalah Nahdatul Ulama, halaman 45
[5] kitab Jalauzh Zhulam ‘ala ‘Aqidatul Awam, halam 27
[13] Manaqib Syekh Abdul Qodir al-Jilany dalam Historiografi Islam, hlm 30
[14] Manaqib Syekh Abdul Qodir al-Jilany dalam Historiografi Islam, hlm. 31
[16] Manaqib Syekh Abdul Qodir al-Jilany dalam Historiografi Islam, hlm 44
[17] Manaqib Syekh Abdul Qodir al-Jilany dalam Historiografi Islam, hlm. 46
[18] Manaqib Syekh Abdul Qodir al-Jilany dalam Historiografi Islam, hlm. 47
[19] Manaqib Syekh Abdul Qodir al-Jilany dalam Historiografi Islam, hlm. 48
[21]

Komentar