Langsung ke konten utama

Dhaman


1.      Pengertian Al-Kafalah / Dhaman
Al-kafalah Menurut basa artinya, menggabungkan, jaminan-jaminan, beban, dan tanggungan yang di maksud kafalah/ dhaman adalah menanggung (menjamin) utang atau menghadirkan barang atau orang ketampat yang di tentukan.
Sabda Rasulullah SAW.
رم عيملزلزعاغاو ءلىمو ةية رالعا

Artinya : pinjaman deknya dikembalikan dan orang yang menanggung hendaknya menbayar (Riwayat abu Daud dan Tirmidzi)
Menurut madzahab Hanafi al-kafalah memiliki dua pengertian yang pertama arti al-kafalah iyalah : menggabungkan dhimah kepada dhimah yang lain dalam penagihan, dengan jiwa, utang atau zat benda. Dan menggabungkan kepada dhimah yang lain dalam pokok (asal) uatang.[1]
Menurut madzhab Al-maliki Al-kafalah iayalah :
متوفقا يكن لم وا شىء على فقامتوا مة الذ شغل ن اء كا سو لمضمنا مه ذ لضا معمنا مة د لخق احب صا ان شيغا

Artinya : orang yang mempunyai hak mengerjakan tanggungan memberi beban serta bebannya sendiri yang disatukan, baik penanggung pekerjaan yang sesuai (sama) maupun pekerjaan yang berbeda”.
Bisajuga mewajibkan orang yang cerdas dengan senang hati untuk menghadirkan orang yang mempunyai kewajiban harta untuk pemiliknya. Hikmah disyari'atkannya: memelihara hak-hak dan mendapatkannya. Hukum kafalah: boleh, ia termasuk tolong menolong dalam kebaikan dan taqwa. Apabila seseorang memberi jaminan untuk menghadirkan orang yang berhutang, lalu ia tidak bisa menghadirkannya, ia berhutang apa yang wajib atasnya. Kafil (pemberi jaminan) terbebas karena yang berikut ini: meninggalnya yang dijamin, atau yang dijamin menyerahkan dirinya sendiri kepada pemilik hak, atau binasa benda yang dijamin dengan perbuatan Allah SWT(tidak ada campur tangan manusia).
Barang siapa yang ingin safar, dan ia mempunyai tanggungan yang harus diselesaikan sebelum safarnya, maka yang memiliki hak boleh menghalanginya. Maka jika ia memberikan jaminan penuh atau menyerahkan gadaian yang menutupi hutang saat jatuh tempo, maka ia boleh safar karena hilangnya bahaya.
Menurut Madzhab Hambali bahwa yang dimaksud dengan Al-kafalah adalah iltzam sesuatu yang diwajibkan pada orang lain serta kekekalan benda tersebut yang dibebankan atau ilyizam orang yang mempunyai hak menghadirkan dua harta (pemiliknya) kepada orang yang mempunyai hak”.
Sedangkan menurut Madzhab Syafi’I yang dimaksud dengan Al-kafalah ialah akat yang menetapkan iltizam hak yang tetap adalah pada tanggungan (beban) yang lain atau menghadirkan zat benda yang diberikan atau menghadirkan badan oleh orang yang berhak menghadirkannya.
Imam Taqiy Al-din juga berpendapat bahwa Al-kafalah ialah :
 نمةالى نمة ضم   mengumpulkan satu beban kepada beban lain.
Setelah mengetahui definisi-definisi Al-kafalah atau dhaman menurut para ulama’ diatas, kiranya dapat difahami bahwa yang dimaksud al-kafalah atau dhaman dapat dipahami yang dimaksud al-kafalah atau al-dhaman ialah menggabungkan dua beban (tanggung jawab) dalam permintaan hutang.
Kafalah dalam bentuk kegiatan sosial yang disayareatkan oleh Al-Qur’an dan hadist. Nash yang dapat dijadikan dasar kebolehan kafalah yaitu Al-Qur’an surat Yusuf  ayat 72 :
Artinya : penyeru-penyeru berkata : kami kehilangan piala raja, dan siapa dapat mengembalikannya akan memperoleh bahan makanan (seberat beban unta,) dan aku menjamin terhadapnya (Q. S. Yusuf : 72)

2.      Rukun dan Syarat kafalah
Ada beberapa rukun dan syarat yang harus dipenuhi dalam teransaksi dalam kafalah :
a.       Kafil, yang dimaksud adalah orang yang berkewajiban melakukan tanggung jawab (makful bini). Orang bertindak sebagai kafi’il disyaratkan adalah orang dewasa (balir) berakal, berhak penuh  dalam urusan hartanya, dan rela dengan kafalah. Kafi’il tidak boleh orang gila dan anak kecil sekalipun dia dapat membedakan sesuatu (tamyiz). Kafi’il dapat disebut dhamin orang yang menjamin zaim (penanggung jawab), hamil (orang yang menanggung beban) atau qobil (orang yang menerima).
b.      Ashiil/Makfulanhu yaitu orang yang berhutang, yaitu orang yang ditanggung. Tidak disyaratkan baligr, berakal, dan kehadiran dan kerelaannya dalam kafalah.
c.       Makful Lahu yaitu yang memberi utang (berpiutang). Disyaratkan diketahui oleh orang yang menjamin. Hal ini supaya lebih mudah dan disiplin.
d.      Makful Bini yaitu sesuatu yang di jamin berupa orang atau barang atau pekerjaan yang wajib dipenuhi oleh orang yang keadaannya di tanggung (Ashiil/Makful Anhu).
e.       Lafadz yaitu lafadz yang menunjukkan arti menjamin, tidak dicantumkan kepada sesuatu dan tidak berarti sementara.
Dijelaskan Sayyid Sabiq bahwa kafalah dapat dinyatakan sah dengan menggunakan lafadz sebagai berikut : “ Aku menjamin si A sekarang” aku tanggung dan aku jamin atau aku tanggulangi atau aku sebagai penanggung untuk mu” atau” penjamin”hak mu pada ku” atau “ aku berkewajiban semua ucapan ini dijadikan sebagai pernyataan kafalah.
Apa bila lafadz kafalah telah dinyatakan maka hali itu mengikat kepada hutang akan diselesaikan artinya, hutang tersebut wajib dilunasi oleh kafil cara kontan atau kredit, jika hutang itu harus dibayar kontan sikafil dapat minta syarat penundaan dalam jangka waktu tertentu. Hal ini dibenarkan berdasarkan hadist yang diriwayatkan Ibu Majah dari Ibu Abbas bahwa Nabi SAW. Menanggung sepuluh dinar yang diwajibkan membayar selama satu bulan, beliau melakukannya.[2]

3.      Macam-Macam Kafalah
Secara garis besar kafalah dibedakan menjadi dua :
a.       Kafalah dengan jiwa disebut juga jaminan muka,
Yaitu keharusan bagi sikafi’il untuk menghadirkan orang yang ia tanggung kepada orang yang ia janjikan tanggungan (Makfullahu/orang yang berpiutang). Jika persoalanya, menyangkut kepada hak manusia maka orang di jamin tidak mesti menngetauhi persoalan karena ini menyangkut badan bukan harta. Menurut pendapat yang kuat sebagai mana yang dijelaskan oleh Iman Taqiyyuddin, syah hukumnya menanggung badan orang yang wajib menerima hukuman yang menjadi hak anak adam seperti qishas dan qozaf.[3]
 Jika orang itu harus menerima hukuman yang menjadi hak Allah seperti Had Zinah dan Had Khamar maka kafalah tidak dibenarkan berdasarkan hadist Nabi :
(رواه البهقى) لا لفا لة فى حد
Artinya : tidak ada kafalah dalam had” (Hr. Baihqi).
Alasan berikut adalah menggugurkan had dan menolah had adalah perkara syubhad. Oleh karena itu, ditak ada kekuatan jaminan yang dapat dipegang dan tidaklah mungkin had dapat dilakukan, kecuali orang yang bersangkutan.
Kafalah harta yaitu kewajiban yang harus dipatuhi oleh kafiil dengan pemenuhan berupa harta.
Kafalah dengan harta dapat di bagi menjadi :
a.      Kafalah bin al-dain
Yaitu kaewajiban membayar hutang yang menjadi tanggungan orang lain.
Hal ini didasari oleh hadis Nabi.
صل عليه يا لسور الله وعلى دينه فصله
Katadah berkata
Artinya : Wahai Rasulullah Solatkanlah dia dan saya yang berkewajiban untuk membayar hutangnya. Lalu Rasulullah menyolatkannya.” (Hr. Bukhori)
b.      Kafalah dengan menyarahkan materi,
Yaitu kewajiban menyerahkan benda  tertentu yang ada di tangan orang lain seperti menyerahkan barng jaulan kepada si pembeli, mengembalikan barang yang dighasab dan sebagainya.
c.       Kafalah dengan aib,
Yaitu menjamin barang, di khawatirkan benda yang akan di jual tersebut terdapat masalah atau aib dan cacat (habaya) karena waktu yang telah terlalu atau karena hal-hal lain. Maka si kafiil bertindak sebagai penjamin bagi si orang lain bukan milik penjualan atau barang itu sebenarnya barang gadaiaan yang hendak di jual.
Madshan syafi’I berpendapat bahwa kafalah di nyatakan sah dengan menghadirikan orang yang terkena kewajiban menyangkut hak manusia seoerti qiyas dan qadzaf karena ke dua hal tersebut menurut syafi’iyah termasuk hak yang lazim. Bila menyangkut had yang telah di tentukan oleh Allah, maka hal itu tidak dah dengan kafalah.
Ibnu hazm menolak pendapat tersebut, menjamin dengan menghadirkan benda pada pokoknya tidak boleh, baik menyangkut masalah had. Syarat apapun yang tidak terdapat dalam katabullah adalah bathil.
Namun demikia, sebagai ulama’ membenarkan adanya kafalah jiwa (kafalah bil al-wajh) dengan alasan bahwa Rosulullah SAW, pernah menjamin urusan tuduhan. Nemun menurut Ibnu Hazm bahwa hadist yang menceritakan tentang penjaminan Rosulullah SAW. Pada masalah tuduhan adalah bathil karena hadist tersebut di riwayatkan  oleh Ibrahim bin Khaitsam bin Arrak, dia adalah dhaif dan tidak boleh di ambil periwayatannya.
Jika seseorang menjamin akan menghadirkan seseorang, maka orang tersebut wajib menghadirkannya. Bila ia tidak dapat menghadirkannya. Bila ia tidak dapat menghadirkannya, sedangkan penjamin masih hidup atau penjamin itu sendiri berhalangan hadir, menurut madzhab Maliki dan penduduk madinah penjamin wajib membayar utang orang yang di tanggungnya.
Sedangkan menurut madzahb Hanafi bahwa penjamin (kafiil atau dhamin) harus di tahan sampai ia dapat menghadirkan orang tersebut atau sampai penjamin mengetahui bahwa ashil telah meninggal dunia, dalam keadaan demikian penjamin tidak berkewajiban membayar dengan harta. Kecuali ketika menjamin mensyaratkan demikian (akan membayarnya).
Menurut mazhab syafi’I, bila ashil meninggal dunia, maka kafiil tidak wajib membayar kewajibannya karena ia tidak penjamin harta, tetapi manjamin orang dan kafiil di nyatakan bebas tanggung jawab.
Kafalah dapat dilaksanakan dalam 3 bentuk yaitu :
1.      Munjaz (tanjiz)
Adalah tanggungan yang ditunaikan seketika, seperti seseorang berkata, “Saya tanggung si Fulan dan saya jamin si Fulan sekarang”. Apabila akad penanggungan terjadi maka penanggungan itu mengikuti akad utang, apakah harus dibayar ketika itu, ditangguhkan atau dicicil kecuali disyaratkan pada penanggungan.
2.      Mu’allaq (ta’liq)
Adalah menjamin sesuatu dengan dikaitkan pada sesuatu, seperti seseorang berkata, “Jika kamu mengutangkan pada anakku maka aku yang akan membayarnya” atau “Jika kamu ditagih A maka aku yang akan membayarnya”.
3.      Mu’aqqat (tauqit)
Adalah tanggungan yang harus dibayar dengan dikaitkan pada suatu waktu, seperti ucapan seseorang “Bila ditagih pada bulan Ramadhan maka aku yang menanggung pembayaran utangmu”. Menurut madzhab Hanafi penangguhan seperti ini sah tetapi menurut madzhab Syafi’i batal. Apabila akad telah berlangsung maka madmun lahu boleh menagih kepada kafil atau kepada madhmun ‘anhu, hal ini dijelaskan oleh jumhur ulama.

4.      Pembayaran Kafiil
Jika kafiil (penjamin) telah melaksanakan kewajiban dengan membayar uatang orang yang ia jamin (makful anhu) maka si kafiil boleh meminta kembali kepada makful anhu apabila pembayaran itu di lakukan bersasarkan idzinnya.
Jika makfuul anhu ghaib (tidak ada) kafiil tetap berkawajiban menjamin. Ia tidak dapat mengelak dari kafalah kecuali dengan membayar atau orang yang berpiutang menyatakan bebas untuk kafiil dari utang makfuul anhu.

5.      Hikmah Kafalah
Dhamah kafiil (jaminan) merupakan salah satu ajaran islam. Jaminan pada hakekatnya usaha untuk memberikan kenyamanan dan keamanan bagi semua orang yang melakukan sebuah transaksi. Untuk era sekarang ini kafalah ialah asuransi jaminan atau asurasnsi telah disyareatkan oleh Islam ribuan tahun. Islam ternyata untuk masa sekarang ini kafalah (jaminan) sangat penting, tidak pernah dilepaskan dalam bentuk transaksi seperti uang apa lagi transaksi seperti bank dan sebagainya. Hikamah yang dapat diambil adalah kafalah mendatangkan sikap tolong-menolong. Keamanan, kenyamanan, dan kepastian dalam transaksi. Wahbah zuhaily mencatat hikmah tasry dari kafalah untuk memperkuat hak, merealisasikan sifat tolong-menolong, mempermudah transaksi dalam pembayaran utang, harta, dan pinjaman. Supaya orang yang memiliki hak mendapatkan ketenangan terhadap hutang yang di pinjamkan kepada orang lain atau benda yang di pinjam.

6.      Pelaksanaan Kafalah
Kafalah dapat dilaksanakan dalam 3 bentuk yaitu :
1.      Munjaz (tanjiz)
Adalah tanggungan yang ditunaikan seketika, seperti orang berkata “Saya tanggung si fulan dan saya jamin si fulan sekarang”. Apa bila akad penanggung terjadi maka penanggung itu mengikuti akad utang apakah yang harus di bayar ketika itu, di tanggungkan atau di cicil kecuali di syaratkan pada penanggungan.
2.      Mu’allaq (ta’liq)
Allah menjamin sesuatu dengan di kaitkan pada sesuatu, seperti seseoarang berkata “ jika kamu mengutangkan pada anakku maka akau akan membayarnya” atau”jika kamu ditagih A maka aku yang akan membayarnya”.
3.      Mu’aqqat (tauqit)
Adalah tanggungan yang harus dibayar dengan di kaitkan pada suatu waktu seperti ucapan seseoarang “bila di tagih bulan romadhan maka aku yang akan menanggung pembayaran uatang mu”. Menurut mazhab hanafi penagguhan seperti ini sah tetapi menurut Madzhab Ualama’.

B.     Fenomena
Secara etimologis, kafalah berarti al-dhaman, artinya : “menggabungkan” yakin menggabungkan dua tanggung jawab dalam suatu hal. Hal ini sesuai dengan Firman Allah SWT dalam surat Al-Imron (3):37, yaitu “Allah menjadikan Zakaria sebagai penjaminnya (Masyam)” di samping itu, kafilah berarti hamaiah (beban) dan za’manh (tanggungan). Disebut dhaman apabila penjamin itu di kaitkan dengan harta, hamalah apabila di kaitkan dengan di kaitan dengan diyat (benda dalam hukum qishas) za’amah jika berkaitan dengan harta (barnag modal), dan kafiah apabila penjaminan itu di kaitkan dengan jiwa.
Secara termenologi, sebagaimana yang di nyatakan para ulama fiqih selain hanafi, bahwa kafaiah adalah : “menggabungkan kedua tanggungan dalam permintaan dan hutang.” Definisi lain adalah :”jaminan yang di berikan oleh penanggung (kafiil) kepada pihak ke tiga untuk memenuhi kewajiban pihak kedu atau yang ditanggung (makfuul anhu)” di dalam kamus istilah fiqih, kafalah diartikan menanggung atau penganggung terhadap semua, yaitu akad yang mengandung perjanjian  dari seseorang di mana padanya ada hak yang wajib di penuhi terhadap orang lain, dan berserikat bersama orang lain itu dalam hal ini tanggung jawab terhadap hak tersebut dalam menghadapi penagih (uatang).
Pada asalnya, kafalah adalah padanan dari dhaman, yang berarti penjamin sebagai mana tersebut diatas. Namun dalam perkembangan, situasi telah mengubah pengertian ini. Kafalah identik dengan kafalah Al-wajhi (personal guarantee, jaminan diri), sedangkan dhaman identik dengan jaminan yang berbentuk harta secara mutlak. Dari beberapa defenisi di atas dapat di simpulkan bahwa kafalah adalah jaminan dari penjamin (pihak ketiga), baik berupa jaminan diri maupun harta kepada pihak ke dua sehubungan dengan adanya hak dan kewajiban pihak kedua tersebut kepada pihak yang lain (pertama). Konsep ini agak berbeda dengan konsep rahn yang juga bermakna barng jaminan, namun barang jaminannya dari oaring yang berhutang. Ulama’ Madzhab fiqih membolehkan kedua jenis kafalah tersebut, baik diri maupun barang.
Didalam perundang-undangan mesir misalnya, kafalah di artikan sebagai menggabungkan tanggung jawab orang yang berhutang dan orang yang menjamin. Misalnya, ada seseorang akan mengjukan kredit kepada bank, kemudian ada orang kedua yang bertindak dan turut menjamin hutang seseorang tersebut. Ini berarti bahwa hutang tersebut menjadi tanggung jawab orang pertama dan juga orang kedua.
Kewajiban Penanggung
Apabila orang yang ditanggung tersebut bepergian jauh atau "menghilang", bagaimanakah tanggung jawab orang yang menanggung?. Dalam hal ini ada tiga pendapat, sebagai berikut:Penanggung wajib mendatangkan (menemukan) orang yang ditanggung, atau mengganti kerugian. Pendapat ini dikemukakan oleh Imam Malik beserta pengikutnya dan fuqaha' Madinah. Bahwa penanggung dipenjarakan, sehingga orang yang ditanggung telah datang, atau kalau dia wafat, telah diketahui kewafatannya. Ini pandangan Imam Abu Hanifah dan fuqaha' Irak.
Bahwa penanggung tidak terkena kewajiban apapun termasuk dipenjarakan, kecuali ia harus mencarinya/mendatangkannya, jika ia mengetahui tempatnya. Ini pendapat Abu ‘Ubaid al-Qasim. Pendapat Imam Malik yang mengatakan, bahwa penanggung harus menanggung kerugian atas orang yang ditanggung apabila ia pergi, didasarkan pada Hadis Ibnu 'Abbas r.a. sebagai berikut: "Sesungguhnya seorang laki-laki meminta kepada debiturnya agar memberikan hartanya kepadanya, lalu ia memberikan penanggung kepadanya, tetapi ia tidak mampu, sehingga orang tersebut mengadukannya kepada Nabi SAW. Maka Rasulullah SAW. pun menanggungnya, kemudian debitur memberikan harta kepadanya. "
Mereka mengatakan, bahwa Hadis ini menunjukkan adanya penggantian kerugian secara mutlak. Berbeda dengan fuqaha' Irak yang berpandangan bahwa, penanggung hanya berkewajiban menghadirkan apa yang ditanggungnya, yakni orang (yang ditanggungnya). Karenanya, penanggungan tersebut tidak harus menyertakan harta, kecuali apabila penanggungan tersebut memang disyaratkan demikian atas dirinya. Selanjutnya, Imam Malik berpendapat bahwa, apabila seseorang mensyaratkan tanggungan (badan) tanpa harta, sedangkan iapun menjelaskan syarat tersebut, maka harta tersebut tidak wajib atasnya. Karena apabila harta tersebut menjadi beban kewajibannya, berarti ia melakukan perbuatan yang melawan apa-apa yang disyaratkannya itu. Berbeda dengan tanggungan harta, fuqaha' telah sepakat bahwa, apabila orang yang ditanggung tersebut meninggal atau pergi, maka penanggung harus mengganti kerugian.
Tentang pandangan yang membolehkan kreditur menuntut penanggung, baik yang ditanggung itu bepergian atau tidak, kaya atau miskin, maka mereka beralasan dengan Hadis Qubaishah Ibn al-Makhariqi r.a. sebagai berikut: "Aku membawa satu tanggungan, maka aku mendatangi Nabi SAW. kemudian aku bertanya kepada beliau tentang (tanggungan itu). Maka beliau bersabada: "Kami akan mengeluarkan tanggungan itu atas namamu dari onta sedekah. Hai Qubaishah! sesungguhnya perkara ini tidak halal, kecuali pada tiga hal". Kemudian beliau menyebutkan tentang seorang laki-laki yang membawa suatu tanggungan dari laki-laki lain, sehingga ia melunasinya ".
Hadis tersebut di atas memberikan petunjuk bahwa, Nabi SAW. membolehkan penuntutan terhadap penanggung, tanpa mempertimbangkan kondisi orang yang ditanggung

Macam-macam orang yang dapat di tanggung
Mengenai orang-orang yang dapat di tanggung, para ulama’ fiqih menyatakan, bahwa pada dasarnya setiap orang dapat meerima jaminan atau tanggungan tersebut. Mereka hanya berbeda  pendapat mengenai orang yang sudah wafat (mati) yang tidak meninggal harta warisan. Menurut pendapat Imam Maliki dan Syafi’i, hal yang demikian boleh di tanggung. Alasannya adalah dengan berpedoman pada hadist tersebut diatas tentang ketidaksediaan  Nabi SAW. Mensholatkan jenazah karma meninggalkan sejumlah hutang. Sedangkan Imam Hanafi menyatakan tidak boleh, dengan alas an bahwa tanggungan tesebut tidak berkaitan sama sekali dengan orang yang tidak ada. Berbeda dengan pailit.

Masa Tanggungan
Masa tanggungan dengan harta, yakin masa penuntutan kepada penaggung adalah di mulai sejak tetapnya hak atau orang yang di tanggung, baik berdasarkan pengakuannya maupun saksi, demikian pendapat fuqoha’. Kemudian fuqoha’ bersilang pendapat tentang masa wajibnya tanggungan dengan benda, apakah tanggungan tersebut menjadi wajib sebelumnya tetapnya hak atau tidak ?. segolongan fuqoha’ berpendapat, bahwa tanggungan itu tidak menjadi wajib sebelum tetapnya hak. Pandangan ini di pegang oleh golongan Imam Maliki, Syuraih Al-qodhi dan Al-Sya’bi. Segolongan lainnya, bahwa untuk menetapkan hak tersebut harus ada konfirmasi dengan pihak penanggung (dengan badan) dan ia memang bersedia mejadi penanggung.
Selanjutnya, kapan pengembalian hak itu terjadi atau kapankan pengembalian hak itu menjadi wajib. Dan sampai kapan waktunya ?. sebagai fuqaha’ berpendapat bahwa apa bila debitur dapat menyampaikan bukti. Bukti yang kuata atau saksi misalnya, maka ia harus memberikan penanggung (dengan badan), sehingga terlihat haknya. Jika tidak demikian, maka tidak ada keharusan memberipenanggungan.
Fuqaha’ Iraq berpendapat, bahwa tidak dapat di ambil penanggung atas debitur sebelum teapatnya hak. Sependapat dengan Ibnu Al-qashim, mereka memberikan waktu hanya tiga hari. Ia menambahkan, bahwa tidak boleh diambil penanggung atas seseoarang kecuali dengan adanya seksi. Dengan demikian akan tampak jelas pengakuan itu benar atau tidak benar. Apa bila keadilan diantara kedua belah pihak dalam masalah ini akan ditegakkan, maka keberadaan  saksi mutlak di perlukan, baik kesaksian atas beban (hutang) debitur maupun kesaksian atas di ambilnya tanggungan oleh pihak penanggung ini memudahkan pihak krediur dalam melakukan tindakan-tindakan kepada, apabila di perlukan.
Mengenai obyek tanggungan, menurut sebagai besar Ulama’ fiqih, adalah harta. Hal ini berdasarkan  kepada hadist Nabi SAW. “Penanggung itu menanggung kerugian”. Sehubungan dengan kewajiban yang harus di penuhi oleh penanggung adalah berupa harta, maka hal ini di kategorikan menjadi tiga hal, sebagai berikut :
  1. Tanggungan dengan hutang, yaitu kewajiban membayar hutang yang menjadi tanggungan orang lain, dalam masalah tanggungan hutang, di syaratkan bahwa hendaknya, nilai barang tersebut tetap pada waktu terjadinya transaksi tanggungan atau jaminan dan bahwa barangnya diketahui, karena apabila tidak di ketahui, maka dikawatirkan akan terjadi gharar.
  2. Tanggungan dengan materi, yaitu kewajiban menyerahkan materi tertentu yang berada di tangan orang lain. Jika berbentuk bukan jaminan seperti ariyah (pinjaman) atau wadi’ah (titipan), maka kafalah tidak sah.
  3. Tanggungan dengan harta, yaitu jaminan yang di berikan oleh sesorang penjualan kepada pembeli kerena adanya resiko yang mungkin timbul dari barang yang di jual belikan.

Upah Atas Jasa Kafalah

Adiwarman A. Karim memberikan keterangan tentang upah atas jasa kafalah ini yang ia kemukakan dengan mengawali sebuah pertanyaan: "Bolehkah si pejamin mengambil upah atas jasanya itu?" Kemudian ia menjelaskan bahwa, ulama kontemporer, seperti Mustafa Abdullah al-Hamsyari yang mengutip pendapat Imam Syafi'i, berpadangan bahwa pemberian uang (fee) kepada orang yang ditugaskan untuk mengadukan suatu masalah kepada raja tidak dapat dianggap sebagai uang sogok (riswah), tetapi dianggap sebagai upah (ju'alah), dan hukumnya sebagai ganjaran lelah atau biaya perjalanannya. Ulama lain, Abdu al-Sai' al-Misri mengatakan, bahwa seorang penanggung/penjamin haruslah mendapatkan upah sesuai dengan pekerjaannya sebagai penjamin. Pendapat ini membuka peluang dimasukkannya pertimbangan besarnya risiko yang dipikul oleh si penjamin dalam memperhitungkan upahnya.

Akibat-akibat Hukum Kafalah
Apabila orang yang ditanggung tidak ada (pergi atau menghilang), maka kafil berkewajiban menjamin sepenuhnya. Dan ia tidak dapat keluar dari kafalah, kecuali dengan jalan memenuhi hutang yang menjadi beban 'ashil (orang yang ditanggung). Atau dengan jalan, bahwa orang memberikan pinjaman (hutang) -dalam hal ini bank- menyatakan bebas untuk kafil, atau ia mengundurkan diri dari kafalah. la berhak mengundurkan diri, karena memang itu haknya.
Adapun yang menjadi hak orang/bank (sebagai makful lahu) menfasakh akad kafalah dari pihaknya. Karena hak menfasakh ini adalah hak makful lahu. Dalam hal orang yang ditanggung melarikan diri, sedangkan ia tidak mengetahui tempatnya, maka si penanggung tidak wajib mendatangkannya, tetapi apabila ia mengetahui tempatnya, maka ia wajib mendatangkannya, dan si penanggung diberikan waktu yang cukup untuk keperluan tersebut.

Penerapan Kafalah Dalam Perbankan
Sebagaimana dimaklumi, bahwa kafalah (bank garansi) adalah jaminan yang diberikan bank atas permintaan nasabah untuk memenuhi kewajibannya kepada pihak lain apabila nasabah yang bersangkutan tidak memenuhi kewajibannya.Di samping itu, jaminan (penanggungan) tersebut bisa bersifat kebendaan, seperti hak tanggungan dan jaminan fiducia serta jaminan perorangan (personal guarantee). Jaminan perorangan (termasuk di dalamnya badan hukum = company guarantee) dalam praktek perbankan diberikan dalam bentuk bank garansi, sebagaimana diatur dalam SE Dir BI nomor: 23/7/UKU, tanggal 18 Maret 1991.'
Bank garansi yang diterbitkan suatu bank merupakan pernyataan tertulis untuk mengikatkan diri kepada penerima jaminan apabila di kemudian hari pihak terjamin tidak memenuhi kewajibannya kepada penerima jaminan sesuai dengan jangka waktu dan syarat-syarat yang telah ditentukan. Oleh karena itu, di dalam mekanisme bank garansi terdapat tiga pihak yang terkait, yaitu bank sebagai penjamin, nasabah sebagai terjamin atas permintaannya, dan penerima jaminan. Bank dalam pemberian garansi ini, bisaanya meminta setoran jaminan sejumlah tertentu (sebagian atau seluruhnya) dari total nilai obyek yang dijaminkan. Di samping itu, bank memungut biaya sebagai ju'alah dan biaya administrasi.
Dalam buku Konsep, Produk, Dan Implementasi Operasional Bank Syariah surat garansi yang dikeluarkan oleh bank garansi dapat di bagi menjadi lima bentuk surat penjaminan garansi yang dikeluarkan oleh bank penjamin kepada yang dijamin agar proyek usaha atau bisnisnya bisa selesai berdasarkan jangka waktu yang telah disepakati dengan pemilik proyek.
Ø      Bid Bond
Secara umum bid bond penngertiannya sama dengan penjabaran arti dsan makna dari bank garansi di atas . yakin bank sebagai pihak penjamin mengeluarkan jaminan atas permintaan nasabah untuk kepentingan pemilik proyek agar pengerjaan proyek tadi dapat selesai dengan seksama dan sesuai dengan kesepakatan yang telah ditentukan di awal.
Ø      Performance Bond
Hampir sama dengan bid bond Jaminan yang diberikan oleh bank penjamin atas permintaan nasabah untuk kepentingan pihak pemilik proyek. hanya saja dalam Permormance Bond justru dsengaja ditekankan kepada pihak yang mengelola proyek terikat dengan kontrak dan hal ini juga menyebabkan pihak yang mengelola proyek tyadi bisa dengan aman dan nyaman serta sungguh-sungguh dalam pengerjaan proyek yang tentunya pihak pengelola sangat ditekankan tanggung jawabnya kepada kepada pemilik proyek.
Ø      Advance Payment Bond
Hampir sama dengan dua penjelasan di atas hanya saja yang menjadi perbedaannya antara bank penjamin, pihak yang dijamin, dan pihak yang terjmain adalah pembayaran di awal muka atau pembayaran termin oleh pemilik proyek kepada kontraktor.
Ø      Rentention Bond
Jaminan yang diterbitkan oleh bank atas permintaan nasabah sebagai madhmun lahu untuk kepentingan pemilik proyek yang menjadi mitra kerja nasabah . Ia berkaitan dengan pemeliharaan hasil pekerjaan/proyek sampai batas waktu yang telah diperjanjikan kontark kerja.
Ø      Custom Bond
Berkaitan erat dengan penangguhan bea masuk atas barang=-barang impor yang dimintakan penangguhan pembayarannya apanila memnuhi syarat-syarat yang ditetapkan penangguhan pembayarannnya.
Garansi yang berupa surat penjaminan oleh bank atas permiantaan nasabah bank sebagai yang dijamin atas persetujuan pihak ketiga ( dalam hal ini adalah pemilik proyek ) akan berkahir bila masa berlaku yang telah disepakati sebelumnya oleh tiga pihak tersebut telah berakhir atau expired jika tidak masa berlaku garansi jaminan yang diberikan bank akan berkahir ketika masa pengerjaan atau pengelolaan proyek yang telah direncanakan antara pengelola proyek dengan pemilik proyek setelah selesai dalam waktunya atau finished dan menurut buku Konsep, Produk dan Implementasi Operasional bank Syariah ada dua hal lagi selain dua tadi yang menjadi alasan telah habisnya masa berlaku garansi yang ditebritkan oleh bank .yaitu Pihak ketiga telah mengembalikan bank garansi ,dan pihak ketiga melepaskan bank garansi.
Bank Garansi dapat diperpanjang jika menurut pertimbangan pemilik proyek untuk menjamin keselamatan dan terpeliharanya keberlangsungan pengerjaan proyek . Atau Nasabah pun dapat memperpanjang bank garansi kjika merasa perlu untuk memastikan bahwa pengerjaan proyek tersebut dapat mencapai kesepakatan yang telah dicanangkan sebelumnya .

Hikmah dan Manfaat Kafalah
a.       Sebagai salah satu akad yang terdapat dalam Fiqh Muamalah yang mengatur secara adil dan memilki maqashid menuju terciptanya kesejahteraan dan kenyamanan sesama manusia tatkala melakukan transaksi perdagangan maupun dalam perbankan.
b.      Dengan adanya kafalah, pihak yang dijamin atau disebut juga dengan madhmun anhu dapat menyelesaikan proyek atau usaha bisnisnya dengan ditanggung pengerjaanya dan bisa selesai dengan tepat waktu atau efisien dengan jaminan pihak ketiga yang menjamin pengerjaannya .
c.       Dengan adanya kafalah, pihak yang terjamin atau dalam istilah fiqh mua’amalah disebut sebagai Madhmun lahu menerima jaminan oleh penjamin (dalam hal ini bank) bahwa proyek yang diselesaikan oleh nasabah tadi dapat selesai dengan tepat waktunya dan sesuai dengan jadwal yang telah ditentukan sebelumnya.
C.     Analisis
Setelah penulisan makalah di atas. Penulis dapat menganalisis bahwa pengertian Al-kafalah atau dhaman dapat di artikan sebagai menanggung (manjamin) uatang atau menghadirkan barang atau oarng ke tempat yang di tentukan, misalnya si A menjamin uatang B kepada C, maka C boleh menagih kepada si A atau kepada si B dan apabila salah satu dari keduanya telah membayar, selesaikan utang piutang anatara B dan C.




[1] Abdurrahman Al-jaziri, Al-Fiqih, ‘Ala Amzahib Al-‘arhu’ah, hlm 221
[2] Sayyid Sabiq. Op.Cit, Jilid III, hlm. 926
[3] Imam taqiuyuddin Abu Bakar bin Muhammad AL-husaini, kifayah, Kifayat, AL-akhyar, tarj KH. Syarifudin Anwar, 2007 (Surabaya : Bins Imsm, 2007), hlm. 626

Komentar